Profil Carbon Brief: Indonesia
Dalam artikel keenam dari rangkaian kajian mengenai bagaimana negara penghasil emisi gas rumah kaca merespon perubahan iklim, Carbon Brief melakukan kajian upaya Indonesia untuk menurunkan tingkat deforestasi dan mengendalikan kebakaran lahan gambut yang menghasilkan emisi sangat tinggi.
Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia pada tahun 2015. Ekonomi Indonesia merupakan yang terbesar ke-16 di dunia dan terbesar di Asia Tenggara. Sumber emisi tertinggi berasal dari deforestasi dan kebakaran hutan gambut yang kemudian diikuti oleh emisi dari pembakaran bahan bakar fosil untuk energi.
Indonesia baru-baru ini melampaui Australia menjadi negara pengekspor batu bara termal terbesar di dunia. Indonesia berencana untuk menambah pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara, salah satu alasannya yaitu sebagai upaya untuk mengurangi “kesenjangan listrik” antara pulau-pulau yang sudah maju dan pulau-pulau yang masih kurang terhubung.
Pemerintah Indonesia saat ini telah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29-41% pada tahun 2030, dibandingkan dengan skenario “bisnis seperti biasa”.
Indonesia telah mengadakan pemilihan umum pada bulan April 2019 dan pada tanggal 21 Mei 2019 telah diumumkan kemenangan bagi presiden saat ini yaitu Presiden Joko Widodo.
§ Politik
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dengan penduduk lebih dari 260 juta orang yang tersebar di sekitar 17.499 pulau. Indonesia juga memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, terdiri dari beragam etnis, dan memiliki lebih dari 300 bahasa lokal.
Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum sejak tahun 1955, tetapi pemilihan presiden baru diadakan pada tahun 2004. Presiden saat ini, Joko “Jokowi” Widodo, terpilih pada tahun 2014 baru saja terpilih lagi untuk periode 2019-2024. Widodo adalah anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) “politik sayap kiri-tengah” dan memimpin koalisi mayoritas dengan dukungan sembilan partai politik.
Presiden Joko Widodo merupakan presiden pertama di Indonesia yang tidak berasal dari elit militer atau latar belakang politik dan masih termasuk bersih dari tuduhan korupsi yang dialami beberapa pejabat pemerintah lainnya. Setahun sebelum Jokowi terpilih, the Economist menggambarkannya sebagai “orang yang jujur”. Namun, Jokowi menghadapi kritik karena tidak banyak memajukan hak asasi manusia selama masa kepresidenannya.
Fokus kampanye Jokowi untuk pemilihan umum tahun ini berpusat pada komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagian besar melalui peningkatkan pembangunan infrastruktur, dan peningkatan penanggulangan terorisme dan korupsi – tragisnya, menurut Jakarta Post, koran di Indonesia berbahasa Inggris, sejauh ini belum pernah menyebutkan perubahan iklim.
Tahun lalu, Jokowi meningkatkan subsidi untuk diesel. Menurut Nikkei Asian Review, sebuah publikasi keuangan di Asia, hal ini dilakukan “di tengah kekhawatiran bahwa biaya bahan bakar yang lebih tinggi [dapat] mengancam usahanya untuk terpilih kembali”. (Menurut IEA, Jokowi sebelumnya sempat melakukan penghapusan subsidi besar-besaran pada tahun 2015 sebagai upaya mereformasi sistem pendukung bahan bakar Indonesia yang sudah puluhan tahun dijalankan.)
Sebuah jajak pendapat pada bulan Januari oleh Charta Politika, sebuah perusahaan konsultan politik Indonesia, menemukan bahwa Jokowi mencapai peringkat persetujuan 53,2%. Saingan terbesarnya, Prabowo Subianto – mantan jenderal Angkatan Darat yang kalah dari Jokowi pada tahun 2014 – memiliki peringkat persetujuan 34,1%.
Kajian yang dirilis pada bulan Februari oleh Jatam, sebuah LSM Indonesia yang memantau industri pertambangan, menemukan bahwa 86% dari $ 4 juta donasi kampanye Jokowi berkaitan dengan perusahaan pertambangan besar dan bahan bakar fosil. Sedangkan untuk Prabowo, ditemukan bahwa 70% dari $ 3,4 juta donasi kampanyenya berkaitan dengan perusahaan pertambangan dan perusahaan bahan bakar fosil.
Pada 17 Februari 2019, kedua kandidat mengikuti debat yang disiarkan langsung oleh televisi bertema “lingkungan, energi dan infrastruktur”. Menurut situs web lingkungan Mongabay, keduanya berjanji untuk meningkatkan budi daya kelapa sawit – pendorong utama deforestasi di Indonesia. Kedua kandidat tidak menyebutkan rencana mereka untuk mengatasi perubahan iklim.
Menurut jajak pendapat yang dilakukan pada tahun 2015, 41% responden menyatakan bahwa mereka “sangat prihatin” tentang perubahan iklim. Angka ini lebih rendah daripada proporsi responden yang peduli di negara tetangga seperti Vietnam (69%), Malaysia (44%) dan Filipina (72%), tetapi sama dengan proporsi di Inggris.
§ Persetujuan Paris
Indonesia menjadi bagian dari blok negosiasi iklim internasional yaitu blok G77 dan Cina. Selain itu, Indonesia juga merupakan anggota dari Dialog Cartagena. (Informasi lebih lanjut tentang masing-masing kelompok tersedia dalam penjelasan mendalam tentang blok negosiasi oleh Carbon Brief.)
Emisi gas rumah kaca tahunan Indonesia adalah 2,4 miliar ton setara CO2 (GtCO2e) pada 2015, menurut data yang dikumpulkan oleh Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK). Angka tersebut termasuk emisi dari tata guna lahan, alih fungsi lahan dan kehutanan (LULUCF). Emisi Indonesia mewakili 4,8% dari total emisi global dunia pada tahun tersebut.
Emisi per kapita pada tahun tersebut mencapai 9,2-ton CO2e – lebih besar dari rata-rata global (7,0-ton CO2e) dan rata-rata di Tiongkok (9,0-ton CO2e), Inggris (7,7-ton CO2e) dan Uni Eropa (8,1 ton CO2e).
Namun, perlu dicatat bahwa total emisi Indonesia sangat bervariasi dari tahun ke tahun, sebagian besar sebagai akibat dari kebakaran lahan gambut.
Bagan di bawah ini, yang diambil dari laporan dua tahunan (biennial report) terakhir Indonesia ke Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), memberikan gambaran tentang bagaimana kebakaran lahan gambut Indonesia dapat mengubah emisi keseluruhan.
Bagan ini menunjukkan emisi dari kebakaran lahan gambut (biru), kehutanan dan tata guna lahan lainnya (“FOLU”; hijau), limbah (kuning), pertanian (hijau pucat), industri (“IPPU”; merah) dan energi (oranye). (Perlu dicatat bahwa angka-angka yang ditampilkan adalah hasil pelaporan sendiri.)
Komitmen iklim Indonesia (“kontribusi yang ditentukan secara nasional”, atau NDC) menargetkan pengurangan emisi 29-41% pada tahun 2030, dibandingkan dengan skenario “bisnis seperti biasa”. Bagian atas dari kisaran ini tergantung pada “dukungan kerja sama internasional”, yang melihat emisi pada tahun 2030 apakah akan tetap pada atau di bawah level saat ini.
Komitmen ini disampaikan ke UNFCCC menjelang konferensi iklim di Paris. Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris pada tahun 2016.
Indonesia bertujuan untuk melakukan dekarbonisasi ekonomi melalui “pendekatan bertahap” – yaitu, melalui kebijakan untuk “perbaikan tata guna lahan dan perencanaan tata ruang, konservasi energi dan pengembangan energi bersih dan terbarukan, serta peningkatan pengelolaan limbah”.
Komitmen tersebut dinilai “sangat tidak cukup” oleh Climate Action Tracker (CAT), sebuah proyek penelitian independen yang mengkaji kebijakan iklim. Peringkat tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih kurang ambisius atau belum mengambil “bagian yang adil” atau “fair share” untuk pengurangan emisi yang diperlukan untuk membatasi pemanasan global di bawah 2°C. Studi menemukan bahwa jika semua negara memiliki target yang sama, suhu masih akan meningkat hingga 3°-4°C pada tahun 2100.
Berdasarkan data CAT, emisi Indonesia telah meningkat pada tingkat yang lebih cepat dari perkiraan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, dengan kebijakan saat ini, “justru mungkin berlipat ganda pada tahun 2030”, bila dibandingkan dengan tingkat 2014.
§ Deforestasi, minyak kelapa sawit dan kebarakan hutan dan lahan
Indonesia merupakan rumah bagi 10% hutan hujan tropis dunia dan 36% lahan gambut tropis dunia.
Lahan gambut tropis adalah lingkungan hutan basah dan rawa dengan tanah yang dapat menyimpan karbon hingga 20 kali lebih banyak daripada jenis tanah mineral lainnya. Diperkirakan bahwa lahan gambut Indonesia menyimpan sekitar 28 miliar ton karbon – atau setara dengan hampir tiga tahun emisi bahan bakar fosil global.
Indonesia merupakan penghasil 53% budi daya kelapa sawit dunia, sebuah minyak yang menjadi bahan baku berbagai produk antara lain makanan kemasan, bahan bakar dan kosmetik. Minyak kelapa sawit adalah komoditas ekspor ketiga yang paling menguntungkan setelah batu bara dan minyak bumi, dan industri ini mempekerjakan sekitar 3,7 juta orang.
Rasa haus akan minyak kelapa sawit telah mengubah lanskap Indonesia. Sejak tahun 2000 hingga 2015, Indonesia kehilangan rata-rata 498.000 hektar hutan setiap tahun – menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat deforestasi terbesar kedua di dunia setelah Brasil.
Sebagian besar deforestasi pada masa lalu berasal dari pembukaan lahan dengan metode “tebang dan bakar”, yang menjadi salah satu faktor utama penyebab kebakaran di lahan gambut Indonesia. Ketika kebakaran terjadi di lahan gambut yang sangat rawan api, sebagian besar simpanan karbon dengan jumlah sangat besar dilepaskan ke atmosfer.
Praktik pengeringan lahan gambut juga meningkatkan risiko kebakaran lahan besar-besaran (megafires). Agar tumbuhan kelapa sawit dan tanaman lainnya, seperti misalnya tanaman kayu, lahan gambut sering dikeringkan dari kelembaban alaminya – membuat lahan gambut kering dan lebih mudah terbakar.
Pada 2015, tingkat kebakaran lahan gambut melonjak tinggi – menyebabkan pelepasan gas rumah kaca pada skala yang sama dengan total emisi tahunan Brasil. Selama beberapa hari, emisi dari kebakaran saja lebih tinggi daripada emisi dari seluruh ekonomi AS. (Kebakaran pada tahun 2015 diperparah oleh kondisi kering panas sebagai akibat dari fenomena iklim alami El Niño.)
Asap dari kebakaran menyebabkan 19 kematian dan setengah juta penduduk menderita penyakit pernapasan, berdasarkan laporan dari Guardian.
Pada tahun tersebut, perubahan tata guna lahan, lahan gambut, dan hutan menyumbang 79% dari total emisi gas rumah kaca Indonesia.
Setelah kejadian mematikan tersebut, Jokowi mengumumkan moratorium nasional tentang pengeringan lahan gambut Indonesia. Jokowi kemudian mendirikan Badan Restorasi Gambut dengan tugas untuk memulihkan 2 juta hektar lahan gambut tropis hingga tahun 2020.
Sejak 2016 hingga 2017, deforestasi hutan di Indonesia turun 60% – sebagian karena moratorium, berdasarkan data dari analis.
Pada bulan September 2018, Jokowi mengeluarkan instruksi presiden untuk moratorium izin baru untuk perkebunan kelapa sawit selama tiga tahun.
Namun, “ancaman masih tetap ada”, kata analis. Lebih dari seperempat lahan gambut yang dilindungi pada tahun 2015 telah dilelang ke perusahaan kelapa sawit dan kayu. Untuk mengimbangi perusahaan-perusahaan ini, pemerintah mengoperasikan skema “penggantian lahan usaha” atau “land swap”, dengan menawarkan akses ke lahan yang tidak dilindungi kepada perusahaan. Meski beberapa kelompok telah memperingatkan bahwa skema tersebut dapat memperparah deforestasi.
Tahun ini, Uni Eropa memperketat aturan tentang biofuel dalam upaya untuk membatasi penggunaan minyak sawit yang terkait dengan deforestasi – sebuah langkah yang ditentang keras oleh beberapa menteri Indonesia.
Investigasi baru-baru ini oleh Unearthed menemukan bukti yang menunjukkan bahwa menteri-menteri Indonesia telah mencoba menekan negara-negara Eropa, termasuk Inggris, untuk menentang perubahan peraturan. Investigasi juga menemukan bahwa, pada tahun 2016, Perancis membatalkan usulan pajak atas pasokan minyak sawit yang tidak berkelanjutan setelah diperingatkan bahwa hal itu dapat mengarah pada eksekusi warga negara Perancis di Indonesia.
§ Batu Bara
Indonesia adalah produsen batu bara terbesar kelima di dunia dan merupakan rumah bagi cadangan batu bara terbesar ke-10 di dunia, menurut laporan terkini dari BP Statistical Review of World Energy.
Menurut Badan Energi Internasional (IEA), sekitar 80% dari batu bara Indonesia diekspor. Menurut analisis dari Carbon Brief, dari tahun 2000 hingga 2014, ekspor batu bara Indonesia meningkat empat kali lipat.
Pada 2017, Indonesia melampaui Australia menjadi pengekspor batu bara termal terbesar di dunia, yang digunakan untuk pembangkit listrik, menurut IEA.
Pemerintah Tiongkok merupakan pengimpor utama batu bara Indonesia yang mencapai 31% dari total ekspor Indonesia pada tahun 2017, menurut IEA. Pengimpor utama lainnya yaitu India, Jepang, dan Korea Selatan.
Penambangan batu bara memiliki banyak dampak lingkungan di Indonesia. Sebagai contoh, pengiriman batu bara yang ditambang dari Kalimantan telah menghancurkan terumbu karang tropis sebesar “ratusan meter persegi”, menurut Greenpeace.
Sekitar 58% listrik Indonesia dihasilkan oleh batu bara pada tahun 2017. Ini ditunjukkan pada bagan di bawah ini (area hitam).
Negara ini menempati urutan ke 10 dunia untuk kapasitas total batu bara (29.307 megawatt), tetapi kelima untuk kapasitas yang direncanakan (24.691 MW).
Namun, perlu dicatat bahwa Indonesia telah berulang kali mengurangi kapasitas batu bara yang direncanakan. Pada 2015, Indonesia memiliki rencana untuk 45.000 MW pembangkit batu bara baru. Angka ini kemudian turun menjadi 34.000 MW pada tahun 2018 dan menjadi sekitar 25.000 MW tahun ini, menurut data dari Global Energy Monitor.
Dalam kajian terbarunya tentang pasar batu bara global, IEA mengidentifikasi Indonesia sebagai pendorong utama meningkatnya permintaan selama lima tahun ke depan. Permintaan untuk tenaga batu bara di negara itu kemungkinan akan meningkat sebagai akibat dari “pertumbuhan ekonomi yang kuat, populasi yang meningkat dan berkembangnya kelas menengah”.
Pada 2015, Jokowi meluncurkan rencana ambisius untuk mengembangkan 35.000 MW pembangkit listrik baru pada 2019 – salah satu alasannya yaitu untuk mengatasi “kesenjangan elektrifikasi” antara pulau-pulau yang maju di negara tersebut, seperti Bali, Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau kecil yang terpencil. (Target tersebut kemudian didorong kembali ke 2024.)
Pemerintah melihat tenaga batu bara sebagai cara “murah dan mudah” untuk membantu memenuhi target, menurut Financial Times.
(Namun, kajian dari Carbon Tracker menemukan bahwa membangun pembangkit listrik baru dari energi terbarukan bisa menjadi lebih murah daripada membangun pembangkit listrik baru dari batu bara antara tahun 2020 dan 2022. Lebih jauh lagi, akan lebih murah membangun pembangkit listrik baru dengan energi terbarukan daripada batu bara yang sudah terbangun pada tahun 2028.)
Pada bulan Maret 2018, Indonesia membatasi harga batu bara domestik untuk pembangkit listrik selama dua tahun – sebuah langkah yang dimaksudkan untuk membantu menjaga harga listrik tetap rendah pada saat pemilihan tahun ini, kata para analis.
Batu bara belum menjadi topik utama dalam kampanye Jokowi, menurut Mongabay. Namun, saingannya, Prabowo, menyerukan agar penggunaan batu bara dikurangi dan diganti dengan energi terbarukan, menurut Jakarta Post.
§ Energi Terbarukan
Hanya sekitar lebih dari 5% listrik Indonesia berasal dari energi terbarukan pada tahun 2017 – sebagian besar berasal dari sumber panas bumi. Pada 2018, angka ini naik menjadi 12,3%. Namun, pemerintah telah berjanji untuk meningkatkan porsi tersebut menjadi 23% dari energi terbarukan pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.
Indonesia adalah penghasil tenaga panas bumi terbesar kedua di dunia setelah AS.
Negara ini telah membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi sebesar 1.925 MW. Namun, sumber daya panas bumi yang belum dimanfaatkan diperkirakan berjumlah 29.000 MW – 40% dari total cadangan panas bumi dunia.
Indonesia merupakan titik panas atau “hotspot” untuk tenaga panas bumi karena aktivitas vulkaniknya. Indonesia terletak di Cincin Api Pasifik dan merupakan rumah bagi 139 gunung berapi, menurut Global Volcanism Program.
Negara ini memiliki target agar bauran energi dari panas bumi mencapai 7.200 MW pada tahun 2025, yang akan membuat Indonesia menjadi produsen panas bumi terbesar di dunia.
Jokowi membuka ladang angin pertama di Indonesia pada bulan Juli 2018. Ladang Angin Sidrap, merupakan ladang angin terbesar di Asia Tenggara, menghasilkan 75 MW daya listrik dan memasok daya ke Sulawesi, sebuah pulau di sebalah timur Kalimantan. Ladang angin 72 MW kedua saat ini sedang dibangun di pulau tersebut.
Indonesia saat ini hanya memiliki 16 MW tenaga surya, menurut data dari International Renewable Energy Agency (IRENA).
Namun, pemerintah bertujuan untuk memiliki tenaga surya 6.400 MW dan tenaga angin 1.800 MW pada tahun 2025, menurut laporan dari IRENA.
Namun Indonesia “dapat melampaui tujuan saat ini dan menggunakan lebih banyak energi terbarukan”, menurut laporan tersebut. Jika kebijakan disesuaikan, Indonesia dapat mencapai target energi terbarukan 2050 pada tahun 2030, simpulnya.
Analisis mencatat bahwa potensi tenaga surya masih diremehkan oleh kebijakan pemerintah saat ini. Dengan kebijakan dan investasi baru, tenaga surya berpotensi “menyediakan listrik untuk hampir 1,1 juta rumah tangga di daerah terpencil yang saat ini kekurangan akses listrik yang memadai”, katanya.
§ Peraturan tentang perubahan iklim
Sistem hukum Indonesia didasarkan pada hukum Romawi-Belanda, adat dan hukum Islam. Berbagai peraturan dihasilkan tersusun dalam beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut (dalam urutan kepentingan): UUD 1945; Resolusi MPR; Undang-Undang; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan Daerah.
Sebagian besar undang-undang terkait perubahan iklim di Indonesia diarahkan untuk menanggulangi emisi dari sektor hutan. Undang-undang tersebut, yang telah dibahas secara lebih rinci di atas, mencakup moratorium pengeringan lahan gambut dan konversi hutan hujan primer.
Pada bulan September 2018, Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden untuk moratorium izin baru bagi perkebunan kelapa sawit selama tiga tahun.
Sektor energi juga ada dalam peraturan terkait perubahan iklim. Pemerintah mengeluarkan peraturan pada tahun 2014 yang berisi komitmen untuk meningkatkan porsi energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050 – naik dari porsi saat ini yang baru mencapai 5%.
Indonesia memiliki target untuk meningkatkan efisiensi energi. Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN) menetapkan sasaran penurunan intensitas energi sebesar 1% per tahun hingga 2025.
Pada Oktober 2017, pemerintah mengumumkan inisiatif baru yang bertujuan memasukkan aksi iklim ke dalam agenda pembangunan nasional. (Indonesia memiliki empat rencana pembangunan lima tahun terpisah yang mencakup periode 2005-2025).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional untuk 2015-2019 berpegang pada prinsip bahwa “ekonomi hijau” harus menjadi dasar pembangunan nasional.
Rencana ini bertujuan memberantas pembalakan, penangkapan ikan dan penambangan liar, serta peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Rencana tersebut juga menetapkan tujuan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Selain itu, rencana tersebut juga secara khusus menargetkan pengurangan emisi dari lima “sektor prioritas“, termasuk kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri dan limbah.
Pada 25 Maret 2019, pemerintah meluncurkan laporan yang melihat bagaimana aksi iklim dapat dimasukkan ke dalam rencana pembangunan negara untuk 2020-2025.
Laporan tersebut menyatakan bahwa jalur pembangunan “rendah karbon” dapat mendorong tingkat pertumbuhan PDB sebesar 6% per tahun hingga 2045, lebih tinggi dari tingkat yang diharapkan melalui jalur “bisnis seperti biasa”. Jalur ini juga dapat mengurangi emisi hingga 43% pada tahun 2030, jika dibandingkan dengan “bisnis seperti biasa” – melebihi target iklim nasional saat ini.
§ Pendanaan iklim
Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29-41% pada tahun 2030, dibandingkan dengan “bisnis seperti biasa” – tetapi bagian atas dari komitmen tersebut bergantung pada “dukungan kerja sama internasional”.
Namun, komitmen tersebut tidak menyebutkan dengan rinci berapa banyak bantuan yang dibutuhkan untuk mencapai bagian atas dari target tersebut. Sebuah dokumen dari pemerintah yang diterbitkan terpisah pada saat itu manyatakan bahwa untuk memenuhi target energi terbarukan saja akan menelan biaya $108 miliar.
Indonesia merupakan negara dengan ekonomi pasar berkembang utama, tetapi penduduknya menghadapi ketimpangan ekonomi yang tajam. Sebuah laporan oleh Oxfam pada 2017 menemukan bahwa empat orang terkaya di Indonesia sekarang lebih kaya dari 100 juta orang termiskin di negara ini.
Analisis oleh Carbon Brief menunjukkan bahwa Indonesia merupakan penerima pembiayaan iklim terbesar keenam di dunia, setelah menerima rata-rata $952 juta setahun dari 2015-2016.
Analisis Carbon Brief lebih lanjut menunjukkan bahwa, pada tahun 2016, Indonesia telah dianugerahi $362 juta dalam investasi dari Green Climate Fund (GCF) dan Climate Investment Fund (CIF).
Skema penting yang dibiayai oleh dana perubahan iklim multilateral termasuk proyek $150 juta untuk mengembangkan energi panas bumi sektor swasta dan $18 juta untuk proyek yang dipimpin masyarakat untuk mengatasi degradasi hutan.
§ Dampak dan adaptasi
Sebagai negara berpenduduk padat yang tersebar di pulau-pulau tropis, Indonesia dianggap sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Kenaikan permukaan laut mengancam 42 juta orang yang tinggal di bawah 10 meter di atas permukaan laut di Indonesia. Kenaikan satu meter di permukaan laut bisa menggenangi 405.000 hektar lahan pesisir Indonesia dan menyebabkan pulau-pulau di dataran rendah tenggelam.
Ibukota negara, Jakarta – yang merupakan rumah bagi 10 juta orang – terancam akut oleh kenaikan permukaan laut dan telah digambarkan sebagai “kota yang paling cepat tenggelam” di bumi. Ancaman ini semakin parah di wilayah perkotaan dikarenakan adanya banyak penggalian sumur illegal, yang menyebabkan penurunan muka tanah.
Sebagian besar pulau-pulau di Indonesia diprediksikan akan mengalami peningkatan curah hujan, kecuali pulau-pulau di wilayah selatan, termasuk Pulau Jawa yang diprediksikan menurun hingga 15%.
Curah hujan baik meningkat atau menurun, masing-masing dapat meningkatkan risiko banjir bandang dan kekeringan. Kota-kota besar Indonesia sangat rentan terhadap banjir bandang, yang dapat memicu tanah longsor yang sangat merusak.
Periode monsun tahunan di Indonesia juga dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Penelitian menunjukkan risiko penundaan 30 hari ke musim hujan bisa mencapai 40% pada tahun 2050, dibandingkan dengan 18% saat ini. Hal ini dapat memiliki konsekuensi besar untuk produksi pertanian.
Analisis dari Carbon Brief menemukan bahwa suhu rata-rata di pulau-pulau Indonesia telah meningkat sekitar 1,2°-1,5°C sejak dimulainya era industri.
Peningkatan suhu – selain perubahan dalam fenomena iklim alami El Niño – selanjutnya dapat meningkatkan risiko yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan. Selain mempercepat perubahan iklim, kebakaran meningkatkan risiko gangguan bagi keanekaragaman hayati Indonesia. Indonesia merupakan rumah bagi 12% dari spesies mamalia, 16% dari spesies reptil dan 17% dari spesies burung dunia.
Indonesia meluncurkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) pada tahun 2012. Dalam kata pengantar laporan ini, Endah Murniningtyas, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup BAPPENAS, menulis:
“Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim.”
Laporan ini menguraikan rencana untuk meningkatkan ketahanan Indonesia terhadap perubahan iklim, yaitu dengan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan ketahanan energi dan pangan dan untuk meningkatkan ketahanan ekosistem hutannya. Laporan ini juga mengidentifikasi pulau-pulau kecil, wilayah pesisir dan kota-kota sebagai “wilayah khusus” yang paling membutuhkan langkah adaptasi yang lebih kuat.